Para utusan Tuhan telah menegaskan keyakinan mereka
kepada Tuhan. Begitu juga dengan orang-orang suci. Orang-orang beriman awam pun
tampaknya juga cukup yakin tentang kayakinan mereka.
Disisi lain dari kalangan
agnostik mereka mengakui dengan terus terang bahwa mereka tidak tahu apakah
Tuhan itu ada atau tidak, sementara orang-orang ateis sama sekali menyangkal
keberadaan Tuhan. Jadi ada semua spektrum dari orang-orang yang mewakili
berbagai tingkat iman dan kepastian mengenai eksistensi Tuhan. Relevansi
masalah kepastian yang berkaitan dengan Tuhan ini adalah pada kenyataan bahwa
tingkat kepastian tersebut berpengaruh besar, baik terhadap standar ibadah kita
maupun perilaku kita dalam cara yang sangat mendalam.
Kepastian mengenai entitas apapun, baik itu wujud
Tuhan maupun keberadaan suatu benda, dimulai dari tingkat deduksi logis.
Tingkat berikutnya adalah persepsi langsung. Selanjutnya tingkat yang lebih
jauh yaitu tingkat keterlibatan personal secara komplit.
Ilmul-Yaqiin
Pikiran manusia dibekali dengan fakultas (kemampuan)
untuk menarik kesimpulan logis dengan menerapkan rasionalitas terhadap
informasi yang tersedia dan fakta yang pasti. Dengan kemampuan ini, pikiran
manusia dapat menarik kesimpulan yang logis yang dapat diterima. Sebuah
peribahasa umum yang berbunyi 'dimana ada asap disana ada api',
merangkum semua pemikiran ini. Pengetahuan tentang eksistensi, bentuk dan sifat
dari api yang sudah ada dalam diri seseorang, akan menjadikannya mampu untuk
menyimpulkan bahwa adanya api tersebut karena telah melihat ciri atau tandanya
- asap adalah salah satunya. Kesaksian adanya asap akan mengarahkan setiap
pikiran rasional untuk menyimpulkan adanya api, karena pengetahuan umum;
'dimana ada asap disitu ada api'. Mereka yang yang mengetahui api menghasilkan
asap akan membuat kesimpulan akan adanya api ketika ia melihat asap. Oleh
karena itu prasyarat untuk tingkat kepastian ini adalah 'ilmu/pengetahuan'.
Istilah Bahasa Arab untuk 'ilmu' adalah 'ilm dan Bahasa Arab untuk 'kepastian'
adalah 'yaqiin'. Dengan demikian istilah Arab yang digunakan oleh
Al-Qur'an untuk kepastian yang berdasarkan pengetahuan adalah 'ilmul-yaqiin.
Kita baca dalam Al-Qur'an "Sekali-kali tidak!
Jika kamu mengetahui hakikat itu dengan ilmu yakin.(102:5). Pada tingkat ilmul-yaqiin, orang beriman dan para pencari
Tuhan yakin kepada Tuhan bukan karena merasakan langsung wujud-Nya, namun berdasarkan
deduksi dari fakta-fakta yang terletak dalam batas-batas pengetahuannya. Pada
dasarnya ia percaya pada hal ghaib yang dalam istilahnya adalah 'imaan bil Ghaib, yang berarti 'percaya pada yang
ghaib'. Meskipun para pencari Tuhan belum merasakan keberadaan Tuhan; gambaran
Tuhan dalam hatinya yang membuatnya gelisah, banyaknya kesaksian yang
meyakinkan tentangke beradaan Tuhan yang diberikan oleh banyak orang yang jujur
dan suci, keberadaan dan kesempurnaan tertib alam semesta, penerimaan
doa-doanya di saat-saat kesusahan dan transfer ilmu yang bersifat ghaib dari
sumber Yang Maha Ghaib kepada manusia seperti dirinya, membawanya kepada
kesimpulan akan keberadaan Tuhan. Ia memang belum melihat api itu sendiri,
tetapi setelah menyaksikan asap, ia berkesimpulan bahwa api memang harus ada.
'Ainul-Yaqiin
Dari peribahasa umum 'dimana ada asap disitu ada api',
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi akan keberadaan api akan semakin
dimengerti dengan cara pengamatan langsung. Pada tingkat kepastian ini dilakukan
dengan persepsi langsung bukan dengan deduksi logis. Setelah seseorang telah
benar-benar melihat nyala api, ia sudah tidak lagi bergantung pada penyimpulan
keberadaan api dari asap yang dihasilkan. Dia sekarang telah melihat api secara
langsung. Asap mungkin masih ada, tetapi tidak lagi digunakan sebagai bukti
dari keberadaan api. Istilah bahasa Arab untuk 'melihat' adalah 'ain, karenanya Bahasa Arab untuk
'kepastian berdasarkan pengataman/kesaksian' adalah 'ainul-yaqiin.
Kita baca dalam Al-Qur'an "..Kemudian kamu
pasti akan melihatnya dengan mata yakin." (102: 8) Ayat ini menarik
perhatian kita pada fakta bahwa pada tingkat ainul-yaqiin, seorang beriman yakin kepada
Tuhan dengan cara apa yang secara kiasan disebut dengan 'melihat secara
langsung' (direct perception)" penampakan Tuhan. Bagi manusia, yang indera
fisiknya hanya menanggapi stimulus materi, menyaksikan penampakan Tuhan jelas
bukan dalam arti pertemuan fisik dengan wujud Tuhan. Menyaksikan Penampakan
Tuhan hanya dapat berarti menjadi saksi akan manifestasi Keilahian-Nya yang
nampak dengan jelas. Masifestasi tersebut meliputi penerimaan ajaib dari
doa-doanya dan 'penyatuan ilahiah'. Doa-doa orang beriman mulai menemukan
pengabulan yang berlimpah. Ketika ia berdoa untuk sesuatu, ia menemukan limpahan
karunia Ilahi mengarah pada doanya. Ia juga mulai mendapatkan mimpi yang benar,
mimpi yang benar-benar tergenapi, serta kasyaf-kasyaf (visions) dan wahyu
dengan kata-kata langsung dalam keadaan terjaga. Ketika perjumpaan tersebut
menjadi sering dan berkali-kali, jiwa manusia kemudian secara kiasan telah
menjadi 'wajah spiritual Tuhan'. Oleh karena itu pada tingkat kepastian ini,
orang beriman tidak lagi bergantung pada kesimpulan logis mengenai keberadaan
Tuhan. Pada tingkat ini, seolah-olah ia telah melihat sendiri Tuhan dengan mata
kepalanya sendiri. Meskipun keadaan 'iman bil ghaib' terus berlaku, orang
beriman menjadi lebih dekat lagi dengan dunia ghaib daripada ketika ia berada
pada tingkatilmul-yakiin.
Kembali pada analogi nyala api, kita dapat memahami
bahwa pada tingkat ilmu-yaqiin para pencari akhirnya melihat
api. Logika dari peribahasa 'dimana ada asap ada api' pada tingkat ini sedikit
berelevansi dengan aksioma. Para pencari Tuhan pada titik ini, dalam arti
kiasan telah melihat Tuhan.
Haqqul-Yaqiin
Melanjutkan analogi perjalanan manusia menuju nyala
api, dan kepastiannya yang meningkat secara bertahap tentang keberadaan api;
sekarang kita melanjutkan untuk membahas tingkat kepastian tertinggi yang
manusia bisa capai, baik itu berkaitan dengan nyala api dari skenariao yang
sedang dibahas maupun tentang keberadaan Wujud Tuhan. Ketika seseorang yang
mencari api telah menyaksikan api, ia telah mencapai tingkat persepsi yang
melibatkan salah satu dari lima inderanya, dalam hal ini penglihatan. Dengan
demikian tingkat pengetahuan yang lebih tinggi secara logis akan melibatkan
persepsi melalui semua inderanya. Ini bukan berarti bahwa pencari api harus
membakar dirinya menjadi abu untuk mencapai tingkat pengetahuan ini, tetapi
untuk menunjukkan bahwa pada tingkat pengetahuan yang paling tinggi memang akan
mengerahkan semua panca indera.
Mari kita asumsikan bahwa sosok protagonis kita yang
terus berjalan ke arah api, yang mana ia telah menyaksikan sendiri dengan
matanya, dan pada akhirnya ia memasukkan dirinya sendiri ke dalam nyala api
tersebut. Pada titik ini ia telah merasakan sifat dari api dengan sarana tidak
hanya oleh satu melainkan semua akal sehatnya. Menerapkan analogi ini kepada
para pencari Tuhan, kita dapat menjelaskannya bahwa ketika para pencari
mempersepsikan Sifat-Sifat Allah, melalui keterlibatan maksimal akal sehatnya,
baik jasmani maupun rohani, saat itulah ia telah mencapai tingkat kepastian
tertinggi mengenai Tuhan. Hal ini kemudian dapat dikatakan bahwa ia telah
mencapai tingkat Haqqul Yaqiin. Bahasa Arab untuk "kebenaran mutlak" (absolute
truth) adalah Haqq. sedangkan bahwa Arab untuk
kepastian seperti yang telah kita bahas adalah Yaqiin. Oleh karena itu istilah Haqqul Yaqiin menunjukkan tingkat kepastian
yang sempurna tentang Tuhan.
Kita baca dalam Al-Qur'an, "..Sesungguhnya (yang
disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. (56:95) Pada tahap ini orang
beriman yakin kepada Tuhan karena ia telah merasakan sifat-sifat Tuhan secara
lebih lengkap, seolah-olah semua cara persepsi yang tersedia baginya telah
sampai pada hubungan langsung dengan Keindahan dan Kemuliaan Tuhan. Pada tahap
ini orang beriman telah diberkati dengan limpahan yang lebih besar berupa wahyu
Ilahi. Pada tahap ini, doa sang pencari Tuhan begitu derasnya diterima dan
dijawab, dimana setiap doa menjadi sebuah keajaiban dalam dirinya
sendiri. Nabi Allah dan orang-orang suci berada dalam wilayah kepastian
agung ini. Ini adalah tingkat tertinggi dari iman dan kepastian.
Tema ini telah dibahas secara menarik dan mendalam
secara rinci oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dalam risalah bersejarahnya "Haqeeqatul
Wahy" dimana beliau menulis:
"...Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang,
telah menanamkan di dalam jiwa manusia kehausan untuk mengenal Allah. Demikian
pula, Dia telah memberkati sifat manusia dengan dua fakultas yang memungkinkan
manusia mencapai pencerahan yang sempurna - yaitu kemampuan intelektual yang
letaknya di dalam otak dan kemampuan spiritual yang bersemayam dalam hati.
Kemampuan-kemampuan spiritual berfokus pada pemurnian hati. Kemampuan-kemampuan
spiritual cenderung untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang mana hal itu
tidak bisa sepenuhnya diakses oleh fakultas intelektual manusia.." 1
Endnotes
1. Haqeeqatul Wahy, p.6, in Ruhani Khaza’in, vol.22,
p.8
Terjemah: Jusman
Sukai , Komentari , dan Bagikan ! Terima kasih ! :) EmoticonEmoticon